ANAK BERKELAINAN MATA
(TUNANETRA)
OLEH
MUHAMMAD
AZWAR
1431040009
PJKR
A
PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS
ILMU KEOLAHRAGAAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah - Nya sehingga
tugas Makalah ini dapat terselesaikan.
Dengan adanya tugas Makalah ini
dapat menambah wawasan dan pengalaman penulis calon guru masa depan.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan Makalah ini masih terdapat kekurangan penyajian materi seutuhnya.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diperlukan
sebagai masukan untuk perkembangan dan kesempurnaan penyajian materi
selanjutnya.
Penulis berharap semoga makalah ini
dapat memberikan tambahan pengetahuan atau inspirasi terhadap pembaca.
Makassar,
3 Maret 2017
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, namun
dibalik kesempurnaan itu terdapat beberapa orang yang memiliki keterbatasan.
Keterbatasan yang dimiliki individu tidak selamanya dipandang sebagai hal yang
wajar sehingga terdapat pihak yang berpandangan bahwa individu yang memiliki keterbatasan tidak
sama dengan individu pada umumnya yang sempurna baik fisik maupun mentalnya.
Pandangan yang tidak mewajarkan terhadap individu yang memiliki
keterbatasan terjadi pada masa Renaissance, pada masa itu anak yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental diperlakukan dengan
buruk (dianggap sebagai manusia yang kerasukan roh jahat).
Seiring dengan perkembangan zaman anak-anak yang memiliki keterbelakangan
atau kelainan, baik dalam segi fisik maupun mental telah mendapatkan perhatian
dari pemerintah, terbukti dengan dikeluarkannya Undang-Undang ABK (Anak
Berkebutuhan Khusus) termasuk di Indonesia, pada tahun 2003 diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 tentang Satuan Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 5 Ayat
2.
Melalui undang-undang yang berlaku di Indonesia, anak berkebutuhan khusus
yang memiliki keterbelakangan atau kelainan, baik dari segi fisik maupun mental
dapat diwadahi melalui pelayanan pendidikan yang disesuaikan atau khusus.
Seperti halnya salah satu kelainan fisik yang diderita oleh anak berkebutuhan
khusus yaitu anak yang memiliki keterbatasan penglihatan (tunanetra).
Oleh karena itu, dalam makalah ini penyusun akan memaparkan mengenai “Anak
Berkelainan Mata (Tunanetra)”.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian anak berkelainan mata atau gangguan
penglihatan (ketunanetraan)?
2.
Bagaimana Klasifikasi anak dengan gangguan penglihatan?
3.
Apa saja
faktor-faktor penyebab ketunanteraan?
4.
Bagaimana
perkembangan kognitif anak tunanetra?
5.
Bagaimana
perkembangan motorik anak tunanetra?
6.
Bagaimana
perkembangan emosi anak tunanetra?
7.
Bagaimana
perkembangan sosial anak tunanetra?
8.
Bagaimana
perkembangan kepribadian anak tunanetra?
9.
Apa saja
masalah ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara pendidikan?
10. Apa saja dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara
pendidikan?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian gangguan penglihatan (ketunanetraan).
2.
Mengetahui Klasifikasi
anak dengan gangguan penglihatan.
3.
Mengetahui
faktor-faktor penyebab ketunanteraan.
4.
Mengetahui
perkembangan kognitif anak tunanetra.
5.
Mengetahui
perkembangan motorik anak tunanetra.
6.
Mengetahui
perkembangan emosi anak tunanetra.
7.
Mengetahui
perkembangan sosial anak tunanetra.
8.
Mengetahui
perkembangan kepribadian anak tunanetra.
9.
Mengetahui
masalah ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara pendidikan.
10. Mengetahui dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Berkelainan Mata atau Gangguan Penglihatan (Tunanetra)
Kamus lengkap bahasa Indonesia (Wardani, 2011) memaparkan “Tunanetra berasal dari 2 kata, yaitu tuna dan netra, tuna berarti tidak
memiliki, tidak punya, luka, gangguan atau rusak,
sedangkan netra berarti penglihatan sehingga tunanetra berarti berkelainan atau
gangguan pada penglihatan”.
Tunanetra digunakan untuk menggambarkan tingkatan kerusakan atau gangguan
penglihatan yang berat sampai pada yang sangat berat, yang dikelompokan secara
umum menjadi buta dan kurang lihat.
Jadi, tunanetra tidak hanya mereka yang buta saja melaikan mereka yang
mampu melihat tetapi penglihatannya sangat kurang dan terbatas sekali sehingga tidak
bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran seperti halnya
orang awas biasa. Dalam hal ini adalah kedua-duanya (indra penglihatanya) tidak
dapat berfungsi dengan baik.
Secara pengertian, mereka yang mengalami kerusakan indra penglihatannya tergolong tunanetra. Akan tetapi, individu yang disebut sebagai
tunanetra dalam hal ini ialah mereka yang tak mampu atau tidak dapat
memanfaatkan indra penglihatannya secara optimal untuk kegiatan pembelajaran,
sehingga perlu penanganan atau layanan yang khusus (berkebutuhan khusus).
Menurut Hidayat (2006) “Anak
tunanetra adalah anak yang mengalami penyimpangan atau kelainan indera
penglihatan baik bersifat berat maupun ringan, sehingga memerlukan pelayanan
khusus dalam pendidikannya untuk dapat mengembangkan potensinya seoptimal
mungkin.”
Efendi (2006) menggambarkan anak tunanetra sebagai:
Orang tunanetra sebagai orang yang memiliki klasifikasi kerja mata tidak
normal: bayangan benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh
kornea, lensa mata, retina, dan saraf karena suatu sebab, misalnya kornea mata
mengalami kerusakan, kering keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang
menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan.
Dari pengertian yang disampaikan
para ahli, dapat disimpulkan bahwa gangguan penglihatan (ketunanetraan)
merupakan suatu keterbatasan penglihatan yang dialami individu baik itu hanya
berupa penglihatan terbatas maupun buta total yang mengakibatkan dirinya
membutuhkan pelayanan dan pendidikan yang khusus agar perkembangan kognitif,
motorik, emosi, sosial dan kepribadian penderita dapat terus berkembang optimal
B. Klasifikasi anak dengan gangguan penglihatan menurut
Somantri (2012: 65), yaitu:
Klasifikasi
tunanetra secara garis besar dibagi empat yaitu:
1. Berdasarkan
waktu terjadinya ketunanetraan
a. Tunanetra sebelum dan sejak
lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
b. Tunanetra setelah lahir atau pada
usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi
belum kuat dan mudah terlupakan.
c. Tunanetra pada usia sekolah atau
pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan
pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
d. Tunanetra pada usia dewasa; pada
umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan
penyesuaian diri.
e. Tunanetra dalam usia lanjut;
sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
2. Berdasarkan
kemampuan daya penglihatan
a.
Tunanetra
ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam
penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan
dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b.
Tunanetra
setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c.
Tunanetra
berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
3. Berdasarkan
pemeriksaan klinis
a.
Tunanetra
yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang
penglihatan kurang dari 20 derajat.
b.
Tunanetra
yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200
yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4. Berdasarkan
kelainan-kelainan pada mata
a.
Myopia;
adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang
retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa negatif.
b.
Hyperopia;
adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan
retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa positif.
c.
Astigmatisme;
adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena
ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh
pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme
digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan tidak
saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tapi
terbatas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam
kondisi berikut:
1.
Ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas,
2.
Terjadi
kekeruhan pada mata atau terdapat cairan tertentu,
3.
Posisi mata
sulit dikendalikan oleh syaraf otak, dan
4.
Terjadi
kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Ø Karakteristik
anak tunanetra menurut Somantri (2012: 66), yaitu:
Dikatakan
tunanetra bila ketajaman penglihatannya kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan
tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas
dapat dibaca pada jarak 21 meter yang diukur dengan tes snellen card.
Ø Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dikelompokan menjadi 2 macam,
yaitu:
a)
Buta jika
anak tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0).
b)
Low vision jika anak masih mampu
menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
C. Faktor-faktor
Penyebab Ketunanetraan
Menurut Efendi (2006) “Penyebab
tunanetra terjadi karena adanya faktor endogen (keturunan) dan eksogen
(penyakit, kecelakaan dan lain-lain). Pada tahun 1950, banyak penderita
tunanetra disebabkan oleh retrolenta
fibroplasia (RLF)/ banyaknya bayi lahir prematur.”
Faktor-faktor penyebab
ketunanetraan dijelaskan Wardani
(2011), yaitu:
a. Faktor
internal timbul dalam diri individu (keturunan)
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu itu
sendiri (intern), yakni sifat
genetik yang di bawa individu akibat hasil persilangan yang salah karena
terjadi atau terdapat beberapa kelainan, sehingga beberapa fungsi organ-organ
tubuh akibat persilangan gen yang salah akan mengakibatkan terganggunya atau
menjadi tidak dapat berfungsinya organ-organ tersebut dengan semestinya (tidak
optimal). Faktor ini
kemungkinan besar terjadi pada perkawinan antar keluarga dekat dan perkawinan
antar tunanetra. Karena didalam keluarga memiliki kesamaan gen satu sama
lainnya yang memungkinkan gen-gen tersebut membawa sifat suatu penyakit atau
kecacatan tertentu. Biasanya gen ini tidak tampak (resesif), namun apabila
gen-gen ini (gen pembawa sifat kelainan) tercampur dengan gen yang sehat dan
dominan, maka gen pembawa sifat penyakit yang ada akan menjadi tampak.
Begitupula dengan perkawinan antar atau salah satu penderita tunanetra yang
membawa gen akan mewariskan sifat genetiknya.
Pada umumnya faktor keturunan terdapat pada inti sel dalam bentuk kromosom
yang berjumlah 23 pasang, kromosom ini terdiri dari zat yang kompleks yang
dinamakan DNA. DNA membentuk gen-gen yang merupakan pembawa sifat bagi setiap
karakteristik dalam tubuh. Apabila terjadi kelainan genetik sebagai akibat
keturunan dari kedua orang tua atau salah satu maka gen-gen inilah yang intinya
akan diturunkan pada generasi berikutnya (Anastasia Widjajantin & Imanuel
Hitipeuw, 1996:22).
b. Faktor
eksternal berasal dari luar individu
Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar individu itu
sendiri. faktor eksternal juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
penyebab terjadinya ketunanetraan. Faktor-faktor ini bisa saja timbul karena
kecelakaan atau terserang suatu penyakit.
Penyebab ketunanetraan menurut Wardani (2011) yang dikelompokkan pada faktor eksternal, antara lain:
1. Penyakit
rubella dan syphilis
Rubella (campak Jerman) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus yang sering berbahaya
dan sulit didiagnosis secara klinis. Jika seorang ibu terkena rubella pada usia
kehamilan 3 bulan pertama maka virus tersebut dapat merusak pertumbuhan sel-sel
pada janin dan merusak jaringan pada mata, telinga, atau organ lainnya sehingga
kemungkinan besar anaknya lahir tunanetra atau tunarungu atau berkelainan
lainnya.
Penyakit syphilis menyerang alat kelamin, jika terjadi pada ibu hamil maka
penyakit tersebut akan merambat kedalam kandungan sehingga dapat menimbulkan
kelainan pada bayi.
2. Glaukoma
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang berlebihan
pada bola mata. Hal ini terjadi karena struktur bola mata yang tidak sempurna
pada pembentukannya dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran
pada bola mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa
silau.
3. Retinopati diabetes
Retinopati diabetes merupakan kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan
dalam aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan oleh adanya penyakit
diabetes.
4. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina dan sering
ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat dicurigai dari penyakit tersebut,
antara lain menonjolnya bola mata, adanya bercak putih pada pupil, juling,
glaukoma, mata sering merah, atau penglihatannya terus menurun.
5. Kekurangan vitamin A
Kekurangan vitamin A menyebabkan kerusakan pada sensitivitas retina
terhadap cahaya dan terjadi kekeringan pada konjungtiva
bulbi yang terdapat pada celah kelopak mata, disertai pengerasan dan
penebalan pada epitel. Pada saat mata bergerak akan tampak lipatan pada konjungtiva bulbi. Dalam keadaan parah,
hal tersebut dapat merusak retina dan apabila keadaan ini dibiarkan akan
terjadi ketunanetraan.
6. Terkena zat kimia
Zat kimia seperti etanol dan aseton apabila mengenai kornea akan mengakibatkan
kering dan terasa sakit. Asam sulfat dan asam tannat yang mengenai kornea akan
menimbulkan kerusakan.
7.
Kecelakaan
Benturan keras mengenai saraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola
mata.
Secara klinis, tunanetra kecil sekali kemungkinannya untuk disembuhkan, meskipun
ada hal semacam operasi mata, namun ini sering kali sulit untuk berhasil karena
adanya penolakan dari tubuh. Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan ialah
mencegah terjadinya tunanetra yaitu menghindari faktor-faktor yang sekiranya
dapat dihindari seperti menjaga untuk memberi suplai makanan yang bergizi
selama masa kehamilan, menghindari kesalahan dalam persilangan gen dengan tidak
mengawini saudara yang dekat, serta menjaga hal-hal lainnya seperti kecelakaan
fisik maupun kimiawi lainnya.
D. Perkembangan
Kognitif Anak Tunanetra
Menurut Somantri (2012: 67) “Indera penglihatan ialah salah satu indera penting dalam menerima informasi
yang datang dari luar dirinya.”
Setiap manusia membutuhkan indera
penglihatan untuk mengamati objek atau untuk memperoleh suatu informasi yang
berada di lingkungan sekitarnya. Melalui indera penglihatan, manusia akan
memperoleh pengetahuan dari lingkungan sekitarnya dengan jelas, karena dengan
indera penglihatan sesuatu yang bersifat
abstrak dapat digambarkan secara konkrit. Sehingga informasi yang perolehnya
dapat lebih cepat dan mudah dipahami.
“Anak
tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan dalam menerima
rangsang atau informasi dari luar dirinya melalui indera penglihatannya”, Somantri (2012: 68).
Seseorang yang mengalami tunanetra
tidak dapat menafsirkan suatu objek atau benda dengan sempurna. Biasanya
seseorang yang mengalami tunanetra menafsirkan suatu objek atau benda dengan
menggunakan indera-indera yang lain, seperti indera peraba, pembau, dan
pengecap, terutama indera yang sering digunakan yaitu, indera pendengaran.
Dalam hal ini, proses memperoleh informasinya dengan mendengarkan dari orang
lain, yaitu secara lisan (ucapan), sehingga hanya dapat melukiskan sesuatu objek
atau benda dengan arahnya, ukurannya, dan tempat objek itu berada.
Menurut Somantri (2012: 68) “Bagi tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau yang diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya, dan rasa yang dicecapnya
memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya.”
Menurut Somantri (2012: 69) “Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata terbagi atas dua golongan, yaitu
kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalamannya sendiri dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari orang
lain yang ia sendiri sering tidak memahaminya.”
Dengan kata lain, anak tunanetra
tidak akan dapat mendefinisikan sesuatu secara kongkrit, berbeda dengan anak
normal yang dapat mendefinisikan sesuatu secara kongkrit. Ketika anak normal
dapat mendefinisikan sesuatu secara kongkret, maka anak tersebut dapat
memahaminya secara utuh. Sedangkan anak tunanetra tidak mampu memahami dengan
sempurna, bahkan tidak memahami sama sekali, karena ketidakmampuan untuk
mengamati objek secara konkret, melainkan hanya secara abstrak.
Menurut Piaget (Somantri, 2012: 70)
perkembangan fungsi kognitif, yaitu:
Perkembangan fungsi kognitif
berlangsung mengikuti prinsip mencari keseimbangan (seeking equilibrium), yaitu kegiatan organisme dan lingkungan yang
bersifat timbal balik, artinya
lingkungan dipandang sebagai suatu hal yang terus menerus mendorong organisme
untuk menyesuaikan diri, dan demikian pula scecara timbal balik organisme
secara konstan menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan
bagian darinya.
Prinsip mencari keseimbangan itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi, yaitu jika seseorang yang menemukan suatu
hal baru dapat dengan mudah diterima sesuai dengan pola pikir yang telah
dimiliki sebelumnya. Sedangkan akomodasi, yaitu jika seseorang yang menemukan
suatu hal baru tidak dapat menyesuaikan dengan pola pikir yang telah dimiliki
sebelumnya, sehingga harus adanya suatu
perubahan mengenai hal yang baru tersebut. Anak tunanetra akan mengalami
hambatan dalam perkembangan kognitifnya, karena perkembangan kognitif harus
dibarengi dengan panca indera yang lengkap terutama indera penglihatan. Dari
indera penglihatan tersebut dapat mengamati objek yang ada di lingkungan
sekitarnya, sehingga informasi yang perolehnya secara utuh. Akan tetapi, pada
anak tunanetra hanya mampu menggunakan indera pendengaran, perabaan, pengecap,
dan pembau untuk memperoleh informasi dari lingkungannya, sehingga informasi
yang diperolehnya tidak secara lengkap atau tidak mampu melakukan pengamatan di
lingkungan sekitarnya, serta anak tunanetra mengalami ketidakpahaman mengenai
informasi yang diperolehnya, karena tidak mampu melihat. Meskipun banyak
hambatan yang dihadapinya, tetapi anak tunanetra dapat dibantu oleh orang awas
dengan berbagai cara atau metode.
Tahapan-tahapan perkembangan perilaku kognitif dibagi menjadi dua bagian,
yaitu tahapan secara kulalitatif dan secara kuantitatif.
Menurut Somantri (2012: 71-73) tahapan-tahapan
perkembangan perilaku kognitif secara kualitatif, yaitu:
1.
Pada tahapan
sensorimotor yang ditandai dengan penggunaan sensori-motorik dalam pengamatan
dan penginderaan yang instensif terhadap dunia sekitarnya, pada anak tunanetra
prestasi intelektual dalam perkembangan bahasa mungkin bukan masalah besar,
asal lingkungan memberikan stimuli yang kuat dan intensif terhadap anak. Tanpa
stimuli tersebut bukan tidak mungkin perkembangan bahasa anak juga terhambat
karena pengamatan visual juga merupakan faktor penting dalam menumbuhkembangkan
bahasa anak. Sedangkan prestasi intelektual dalam konsep tentang objek, kontrol
skema, dan pengenalan hubungan sebab akibat jelas akan mengalami kelambatan.
Menurut Piaget (Choirul Anam, 1985; Somantri, 2012:71) pada tahapan praoperasional, dibandingkan anak normal, anak tunanetra
akan mengalami kelambatan sekitar 6 bulan.
a.
Tahapan pra-operasional
yang ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik
kesimpulan tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang khusus; sapi disebut
kerbau), dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum memahami cara
orang memandang objek yang sama), serta besifat searah, anak tunanetra
cenderung mengalami hambatan atau kesulitan dalam cara-cara berpikir seperti
itu. Ketidakmampuannya dalam menggunakan indera penglihatan sebagai saluran informasi
cenderung mengakibatkan kesulitan dalam belajar mengklasifikasikan objek-objek
atas dasar satu ciri yang mencolok (menonjol) atau kriteria tertentu. Anak
mungkin dapat melakukan klasifikasi atas dasar ciri-ciri yang menonjol
berdasarkan hasil dari proses pendengaran, perabaan, penciuman, atau
pengecapan, walaupun semua itu tergantung pada ada tidaknya suara, terjangkau
tidaknya oleh tangan, ada tidaknya bau serta rasa. Sedangkan klasifikasi yang
berhubungan dengan bentuk, keluasaan/kedalaman, atau warna cenderung sulit atau
bahkan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian secara berkeseluruhan pada tahap
ini anak juga akan mengalami keterlambatan, yang menurut Piaget (Choirul Anam,
1985; Somantri, 2012:72) kalau
dibandingkan dengan anak yang normal, maka keterlambatan tersebut sekitar dua
bulan.
b.
Pada tahapan
praoperasional konkret
yang ditandai dengan kemampuan anak dalam mengklasifikasikan, menyusun,
mengasosiasikan angka-angka atau bilangan, serta proses berpikir, walaupun
masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkrit, anak tunanetra dapat
mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam batas-batas tertentu, namun secara
umum hal ini akan sulit dilakukan. Ini disebabkan oleh sistem organisasi
kognitif sebelumnya yang mutlak diperlukan dalam cara-cara seperti diatas tidak
terorganisasi secara utuh pada anak tunanetra.
c.
Pada tahapan
praoperasional formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan
kaidah-kaidah formal yang tidak terikat lagi dengan objek-objek yang bersifat
konkret, seperti kemampuan berfikir hipotesis deduktif (hypotheic deductive thinking), mengembangkan suatu kemungkinan
berdasar dua atau lebih kemungkinan (acombination
thinking), proposional thinking,
serta kemampuan menarik generalisasi dan inferensi tertentu mungkin dapat
melakukan dengan baik walaupun sifatnya sangat verbalitas. Hal ini karena dalam
pemikiran operasional formal berawal dari kemungkinan-kemungkinan yang
hipotetik dan teoritik dan bukan berawal dari hal-hal yang nyata. Namun
demikian, karena dalam perkembangan kognitif ini sifatnya hierarkis, artinya
tahapan sebelumnya akan menjadi dasar bagi berkembangnya tahapan berikutnya,
pencapaian tahapan operasi lain yang menghambat ialah kurangnya pengalaman yang
luas yang disebabkan oleh terbatasnya jenis informasi yang dapat diterima serta
keterbatasannya dalam orientasi dan mobilitas.
Anak tunanetra mengalami
tahapan-tahapan perkembangan kognitif, akan tetapi anak tunanetra mempunyai
keterlambatan dalam mengalami tahapan-tahapan tersebut, sehingga anak tunanetra
tidak akan sama dengan anak normal dalam mengalami tahapan-tahapan perkembangan
tersebut.
Menurut Somantri (2012: 74) “Apabila ditinjau secara kuantitatif, perkembangan fungsi-fungsi
kognitif anak tunanetra tampaknya sulit untuk diidentifikasi.”
Kesulitan mengidentifikasi pada anak tunanetra tersebut karena banyaknya alat-alat
tes inteligensi yang tidak dapat dioptimalkan oleh anak tunanetra.
Kecerdasan anak tunanetra menurut Kirley, 1975 (Somantri,
2012:75), yaitu:
Berdasarkan tes intelegensi dengan menggunakan Hayes-Bines Scale ditemukan bahwa rentang IQ anak tunanetra
berkisar antara 45-160, dengan ditribusi 12,5% memiliki IW kurang dari 80,
kemudian tunanetra cenderung memiliki rata-rata skor comprehension subtest yang lebih rendah daripada rata-rata pada
skor subtes lainnya.
Menurut Salsabila (2013) untuk meningkatkan
kemampuan kognitif anak difasilitasi dengan:
Kemampuan kognitif penderita
tunanetra dapat dioptimalkan melalui fasilitas, seperti bacaan dan tulisan Braille, keyboarding, alat bantu menghitung/calculation aids, mesin baca Kurzweil,
buku bersuara/talking book, komputer,
latihan orientasi dan mobilitas, menggunakan pemandu, tongkat pemandu dan
kemampuan diri dalam melakukan aktivitas.
E. Perkembangan
Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra dijelaskan Somantri (2012: 76):
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan dengan
anak awas pada umumnya, karena dalam perkembangan perilaku motorik
diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot) dan fungsi
psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh
lingkungan. Fungsi neuromuscular system
tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan
tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu
mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karena fungsi
psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan
mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba
terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan
kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan
aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak
langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
Sebagai gambaran, berikut ini
adalah tahap perkembangan perilaku motorik permulaan dalam kaitannya dengan
fungsi penglihatan.
1.
Tahap Sebelum Berjalan
Anak tunanetra juga mengikuti pola perkembangan motorik yang sama seperti
perkembangan bayi normal yaitu untuk sampai ke tahap berjalan, harus melalui
tahapan menegakan kepala, telungkup, merayap, merangkak dan seterusnya namun
hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda akibat dari kurangnya rangsangan
visual. Gangguan atau hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi
tangan dan koordinasi badan akan berpengaruh pada perilaku motorik tunanetra
dikemudian hari (setelah dewasa).
2.
Koordinasi Tangan
Pada usia 16 minggu bayi
tunanetra tidak mengalami secara alamiah koordinasi tangan yang baik yang
diperoleh dari pengalaman dan percobaan kerjasama mata dan tangan seperti bayi
normal. Karena mereka tidak mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, bayi tunanetra
cenderung tidak responsif dan diam. Maka dari itu perlu diciptakan suatu
lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti yang mampu merangsang
perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi keterlambatan ini. Hambatan
dalam perkembangan koordinasi tangan ini akan berpengarup pada berbagai
aktivitas kemudian seperti dalam jabat tangan yang lemah, kesulitan memegang
benda, serta kelambatan dalam membaca huruf Braille.
3.
Koordinasi Badan
Pada usia 18 minggu koordinasi
badan bayi tunanetra tidak mengalami kesempatan atau peristiwa secara alami
seperti bayi normal. Oleh karena itu tanpa adanya pengalaman pengganti tidak
mungkin anak akan termotivasi untuk melakukan aktivitas seperti menegakan kepala,
menatap, merayap, meraih, memegang, atau mengambil. Bayi tunanetra cenderung
diam atau mengadakan gerakan-gerakan yang kurang berarti disebut dengan blindism, seperti menusuk-nusuk mata
dengan jarinya, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki atau
sejenisnya. Tanpa disadari kebiasaan terhadap gerakan ini biasanya terbawa
sampai dewasa.
4.
Tahap Berjalan
Pada usia sekitar 15 bulan,
kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Ia akan berjalan pada usia
yang lebih tua dari usia anak awas. Hal tersebut, terjadi karena kurangnya
motivasi atau pendorong baik yang sifatnya internal maupun eksternal untuk
melangkahkan kakinya pada posisi berdiri mengambil benda yang ada disekitarnya.
Anak tunanetra merasakan apa yang ada didepannya adalah bahaya karena ia tidak
tahu persis apa yang ada dan terjadi didepannya. Ia tidak mampu
mengidentifikasi melalui indra penglihatannya segala objek atau peristiwa yang
ada di depannya. Ia hanya mampu mengidentifikasi sebagian objek atau peristiwa
yang ada disekitarnya sepanjang hal tersebut memberikan tanda-tanda yang dapat
di identifikasi di luar indra penglihatannya. Keterbatasan ini disamping karena
faktor-faktor diatas juga karena anak tunanetra tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk melakukan observasi visual secara langsung terhadap suatu
gerakan yang dilakukan orang lain sehingga ia tidak mampu pula dalam meniruka
sesuatu gerakan seperti halnya anak awas. Kesempatan dari lingkungan yang
diberikan kepada anak juga seringkali menghambat perkembangan perilaku motorik
anak tunanetra. Sikap over protection, tak acuh, serta salah pengertian
tentang kebutuhan, mengakibatkan keterbatasan anak dalam memperoleh
pengalaman-pengalaman dan keterampilan-keterampilan motorik tertentu. Namun
yang pasti bahwa kurangnya atau ketidak mampuannya menerima rangsang visual
mengakibatkan anak tidak mampu mengobservasi atau menirukan gerak-gerak motorik
tertentu, akibatnya perkembangan menjadi terhambat.
F. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Menurut
Somantri (2012: 80-83) perkembangan
emosi anak tunanetra digambarkan sebagai:
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak
yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra
mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya,
namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan
pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi
yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai yang diharapkan oleh diri
maupun lingkungannya.
Kesulitan
bagi anak tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara visual tentang
stimulus-stimulus apa saja yang harus diberikan terhadap stimulus-stimulus
tersebut. Dengan kata lain anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam
berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi-reaksi wajah atau
tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang dirasakannya kepada orang lain.
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi,
yaitu kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang
menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan. Anak yang mengalami deprivasi emosi ini adalah anak-anak yang pada masa awal
kehidupan atau perkembangannya ditolak kehadirannya oleh keluarga atau
lingkungannya. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek
perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik,
bicara, intelektual, dan sosialnya.
Masalah-masalah
lain yang sering muncul dan dihadapi dalam perkembangan emosi anak tunanetra
ialah gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif
dan berlebihan seperti perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri
hati, serta kesedihan yang berlebihan.
Perasaan
takut yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya berhubungan
ketidakmampuannya dalam melihat mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara
tepat kemungkinan-kemungkinan bahaya yang mengancam keselamatannya. Sedangkan
perasaan khawatir dan cemas seringkali menghinggapi anak tunanetra sebagai
akibat dari ketidakmampuan atau keterbatasan dalam memprediksikan dan
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di lingkungannya dan
menimpa dirinya. Sedangkan perasaan iri hati biasanya muncul karena kurang atau
hilangnya kasih sayang dari lingkungannya. Biasanya tumbuh dan berkembang dari
reaksi lingkungan terhadap dirinya yang ternyata diperlakukan secara berbeda
karena tunanetra nya.
Jadi
perkembangan emosi anak tunanetra harus ditangani dengan tepat agar tidak
terjadi deprivasi emosi melalui kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan dari keluarganya. Memberikan
motivasi yang lebih agar anak tunanetra tidak memiliki rasa takut, malu,
khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan.
G. Perkembangan
Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial anak tunanetra dijelaskan Somantri
(83-85), yaitu:
Hambatan-hambatan
muncul pada anak
tunanetra sebagai akibat langsung
maupun tidak langsung dari ketunanetraan, yaitu kurangnya motivasi, kekuatan
menghadapi lingkungan sosial, perasaan rendah diri, malu, penolakan masyarakat,
penghinaan, sikap tak acuh, ketidak jelasan tuntutan sosial, terbatasnya kesempatan
belajar tentang pola tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan
tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi terhambat.
Pengalaman
sosial anak tunanetra pada usia dini yang tidak menyenangkan sebagai akibat
dari sikap dan perlakuan negatif orang tua dan keluarganya akan sangat
merugikan perkembangan anak tunanetra. Hal ini karena usia tersebut merupakan
masa-masa kritis dimana pegalaman-pengalaman dasar sosial yang trbentuk pada
masa itu akan sulit untuk diubah dan terbawa sampai ia dewasa. Untuk
menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam perkembangan
sosial anak tunanetra, sikap dan perlakuan orang tua serta keluarga tunanetra
nampaknya harus menjadi perhatian terutama pada usia dini.
Masa
sosialisasi yang sesungguhnya akan terjadi pada saat anak memasuki lingkungan
pendidikan kedua, yaitu sekolah. Pada masa ini anak akan dihadapkan pada
berbagai aturan dan disiplin serta penghargaan terhadap orang lain. Bagi anak
tunanetra, memasuki sekolah atau lingkungan yang baru adalah saat-saat yang
kritis, apalagi ia sudah merasakan dirinya berbeda dengan orang lain yang
tentunya akan mengundang berbagai reaksi tertentu yang mungkin menyenangkan
atau sebaliknya. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam memasuki sekolah
atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau lebih luas seringkali
mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya.
Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan sosial anak tunanetra
sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama
lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan
secara langsung atau tak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan
sosial anak seperti keterbatasan anak untuk belajar social melalui identifikasi
maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi
kebutuhan sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat
keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.
Jadi
perkembangan sosial anak tunanetra harus didukung oleh lingkungan keluarga
melalui hal-hal positif agar termotivasi hidupnya dan memberikan peluang besar
untuk diterima di lingkungan masyarakat seperti kesempatan belajar, berinteraksi
secara normal dan diterima layaknya anak normal.
H. Perkembangan
Kepribadian Anak Tunanetra
Pada hakikatnya perkembangan apapun
mengenai anak tunanetra sangat bergantung pada orang yang menanganinya.
Jika anak tunanetra didukung dan
dipercaya untuk melakukan kegiatan yang positif maka perkembangannya pun akan
bermakna.
Sebagai orang terdekat, orang tua
dan keluarga sangat berperan dalam perkembangan segala aspek anak tunanetra
sehingga dianjurkan bahkan diharuskan pihak-pihak ini memberi dorongan/ motivasi,
terus secara continue memberi
semangat dan memberikan input yang dapat menimbulkan perkembangan positif bagi
anak tunanetra termasuk dalam perkembangan kepribadian sehingga anak tunanetra
dapat menyadari, mengenali dan memiliki konsep diri.
Davis (Kirtley, 1975; Somantri, 2012: 85-86) menyatakan mengenai proses perkembangan awal anak tunanetra,
yaitu:
Dalam proses perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu
yang sulit untuk dicapai sehingga untuk memasuki lingkungan baru, seorang anak
tunanetra harus dibantu oleh ibu atau orang tuanya melalui komunikasi verbal,
memberikan semangat dan memberikan gambaran lingkungan tersebut
sejelas-jelasnya seperti anak tunanetra mengenal tubuhnya sendiri.
Pada pembahasan
konsep diri disampaikan pula 3 aspek yang
terdapat di dalamnya menurut Callhoun dan Acocella (Ghufron dan Risnawati, 2011; Fitriyah,
2013), yaitu:
1.
Pengetahuan
merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya. Di dalam benaknya terdapat satu daftar yang menggambarkan dirinya, kelengkapan
atau kekurangan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama
dan lain-lain.
2.
Harapan
digambarkan sebagai suatu aspek dimana seseorang memandang tentang dirinya,
kemungkinan dirinya menjadi apa di masa depan.
3.
Penilaian,
individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya sendiri.
Menurut Somantri (2012: 86) “Anak
tunanetra setengah akan mengalami kesulitan menemukan konsep diri yang lebih
besar daripada anak yang buta total karena mereka sering mengalami konflik
identitas di mana suatu saat oleh lingkungannya disebut anak awas tapi pada
saat yang lain disebut anak tunanetra.”
Konsep diri merupakan hal yang
penting yang harus disadari penderita
tunanetra sehingga penderita tunanetra dapat memandang dirinya lebih bermakna dan berharga, menutupi kekurangan
dengan kelebihan yang akan membuatnya lebih bersyukur dan bisa membuktikan pada
dunia luar jika dirinya juga bisa hidup mandiri seperti orang lain dengan
kondisi fisik yang normal yang pada akhirnya akan membentuk perkembangan kepribadian
yang positif pada diri penderita tunanetra.
I. Masalah
Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat dan Penyelenggara Pendidikan
Permasalahan yang ditimbulkan karena
ketunanetraan saling berkaitan sehingga ketika suatu masalah timbul sering kali
menimbulkan masalah yang lain sehingga penanganannya memerlukan penanganan yang
tepat dan solusinya pun harus berkaitan.
Menurut Somantri (2012: 87) “Dalam menangani anak tunanetra perlu diupayakan melalui layanan pendidikan,
arahan, bimbingan, latihan dan kesempatan yang luas yang dilaksanakan secara
terpadu dan multidisipliner untuk mencegah jangan sampai permasalahan tersebut muncul, meluas dan mendalam yang akhirnya akan merugikan
perkembangan penderita tunanetra.”
Permasalahan individu tunanetra di sekolah menurut Hidayat (2006), yaitu:
a. Masalah pengajaran mencakup kesulitan dalam proses belajar anak berupa
kesulitan dalam menangkap pelajaran secara verbalistik, menggunakan buku-buku,
cara belajar baik sendiri maupun kelompok, kesulitan dalam memilih metode
belajar yang tepat, kesulitan dalam membaca dan menulis, keterbatasan
perabaan-pendengaran dan ingatan serta sarana yang diperlukan dalam proses
pembelajaran yang terbatas.
b. Masalah pendidikan mencakup:
1.
Awal : Menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan warga sekolah.
2.
Proses : Mencari
teman yang cocok, memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai bakat, mendapatkan pembaca yang cocok, mendapatkan pembimbing yang cocok dan
lain-lain.
3.
Akhir : Memilih suatu studi lanjutan, memilih
latihan kerja tertentu dan lain-lain.
c.
Masalah
orientasi dan mobilitas serta kebiasaan diri berupa masalah yang ada kaitannya
dengan kesulitan penguasaan ruang dan kemampuan gerak serta kebiasaan-kebiasaan
hidup yang kurang menguntungkan, misalnya kesulitan orientasi lingkungan baru.
d.
Masalah
gangguan emosi berupa gangguan-gangguan emosi seperti mudah curiga terhadap orang lain,
mudah tersinggung dan mudah marah.
e.
Masalah
penyesuaian diri berupa berubahnya konsep diri sehingga mereka merasa
rendah diri karena keterbatasannya.
f.
Masalah
keterampilan dan pekerjaan berupa sulitnya mencari kecocokkan keterampilan
individu tunanetra dengan pekerjaan yang ada di masyarakat serta usaha-usaha
pemilihan latihan-latihan untuk keterampilan pekerjaan tertentu.
g.
Masalah
ketergantungan diri berupa kurangnya kepercayaan terhadap diri sendiri.
h.
Masalah
penggunaan waktu senggang berupa penggunaan waktu yang selalu dirundung
kesunyian dan kesepian, mengkhayal, menyendiri, tidur tak ada hasil dan
sebagainya.
J. Dampak
Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat dan Penyelenggara Pendidikan
Ø Ketunanetraan
memberi dampak yang tidak begitu baik bagi keluarga. Salah satu contoh dampak
ketunanetraan bagi keluarga, yaitu:
1.
Sebagian orang awam (kurang mengerti) menganggap bahwa
ketunanetraan yang terjadi pada anak diakibatkan oleh dosa orang tuanya
sehingga anak menjadi “wadal” dari dosa yang diperbuat orang tua. Asumsi sebagian
masyarakat tersebut seringkali dijadikan bahan olok-olokan bagi konsumsi
masyarakat.
2.
Sebagian orang berpendapat pula bahwa ketunanetraan
yang terjadi pada diakibatkan oleh penyakit atau kelainan yang diderita orang
tuanya, misalkan kedua orang tuanya merupakan penderita tunanetra.
Ø Dampak yang
diakibatkan ketunanetraan bagi masyarakat, yaitu:
1.
ketidakpercayaan masyarakat kepada penderita tunanetra
mengenai segala aspek yang dimilkinya, seperti keterampilan, kelayakan untuk
bekerja dan lain-lain sehingga asumsi ini lebih merugikan penderita tunanetra.
2.
Melalui sistem pendidikan yang lebih terbuka (segresi
ke integrasi hingga inklusif) memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap
individu tanpa pandang bulu untuk mendapat pendidikan yang bermutu sesuai
kondisi dan kebutuhan masing-masing individu.
“Penyelenggara
pendidikan (guru PLB) menunjukkan cenderung lebih bersikap positif terhadap
anak tunanetra dibandingkan guru biasa yang tidak pernah berhubungan dengan
anak tunanetra khususnya di dalam kelas”, (Murphy dalam Kirtley, 1975 dalam Somantri, 2012: 91).
Ø Dampak yang
diterima orang tua dari ketunanetraan anaknya terkadang menimbulkan reaksi yang
berbeda yang orang tua tunjukkan kepada anaknya. Reaksi-reaksi tersebut dipaparkan Somantri (2012: 90), yaitu:
a.
Penerimaan
secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya
Reaksi ini
ditunjukkan dengan pemberian kasih sayang yang wajar serta pemberian perlakuan
yang sama dengan anak lainnya.
b.
Penyangkalan
terhadap ketunetraan anak
Reaksi ini
ditanggapi dengan sikap yang terbuka namun dengan alasan yang tidak realistik
terhadap kecatatan anaknya. Dalam pendidikan, orang tua seringkali tidak
percaya bahwa anak tidak perlu layanan pendidikan secara khusus dan menyangkal
bahwa akhirnya prestasinya rendah.
c.
Perlindungan
yang berlebihan
Ketunanetraan
dirasakan sebagai akibat dari perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini
cenderung tidak menguntungkan anak karena akan menghambat perkembangan dan
kematangan anak terutama dalam kemandirian.
d.
Penolakan
secara tertutup
Reaksi ini
ditunjukkan dengan sikap menyembunyikan anaknya dari masyarakat. Ia tidak ingin
diketahui bahwa telah memiliki anak tunanetra.
e.
Penolakan
secara terbuka
Reaksi ini
ditunjukkan dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari ketunanetraan
anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio maupun emosional tidak pernah dapat
menerima kehadiran anaknya. Orang tua akan bersikap masa bodoh dan tidak peduli
dengan segala kebutuhan anaknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tunanetra artinya rusaknya penglihatan. Tes yang digunakan untuk mengetahui
ketunanetraan disebut snellen card.
Tunanetra disebabkan oleh retrolenta
fibroplasia (RLF)/ banyaknya bayi lahir prematur serta faktor internal (bawaan) dan eksternal yang lain (penyakit).
Pembendaharaan kosakata pada anak tunanetra diperoleh dari dalam dirinya
sendiri dan orang lain.
Hambatan-hambatan dalam perkembangan motorik anak tunanetra berhubungan
erat dengan ketidakmampuannya dalam penglihatannya yang selanjutnya berpengaruh
terhadapa faktor psikis dan fisik anak pada tahap-tahap perkembangan anak
tunanetra selanjutnya.
Perkembangan emosi anak tunanetra
digambarkan Somantri (2012: 82), yaitu:
Perkembangan emosi anak
tunanetra akan semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi, yaitu
kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan
seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, kesenangan, perasaan takut, malu,
khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, dan kesedihan yang berlebihan.
B. Saran
Setelah
mengetahui beberapa hal tentang ketunanetraan, penyusun memeberikan saran
sebagai berikut:
1.
Setelah
mengetahui faktor-faktor penyebab ketunanetraan, sebaiknya keluarga, masyarakat
dan tenaga pengajar cepat tanggap dalam menanggulangi ketunanetraan berdasarkan
pada faktor penyebabnya.
2.
Dengan
adanya kecenderungan anak tunanetra menggantikan indera penglihatan dengan
indera pendengaran sebagai saluran utama penerima informasi, maka untuk
meningkatkan kemampuan kognitif anak tunanetra bisa dilakukan dengan melatih
secara terus menerus kerja indera pendengaran sebagai pengganti indera
penglihatan.
3.
Dalam
perkembangan perilaku kognitif, motorik, emosi, sosial, dan kepribadian anak
tunanetra, faktor keluarga menjadi faktor paling dominan, oleh karena itu
keluarga harus bersifat cepat tanggap dan penuh kepedulian dalam mengawasi
perkembangan setiap prilaku anak tunanetra.
DAFTAR
PUSTAKA
Efendi, Mohammad. (2006). Pengantar Psikopedagogik
Anak Berkelainan. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Somantri, Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Wardani, dkk. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Ya ya ya mantap
BalasHapus